Senin, 03 Februari 2014

Tindak Tutur dan Permasalahannya

BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Bahasa adalah alat komunikasi yang dipergunakan oleh semua orang dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa menggunakan bahasa seseorang tidak akan dapat bersosial, bahkan mungkin juga tidak akan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Seseorang pada umumnya tidak pandai memilih petuturan yang baik atau bahkan tidak memahami makna dan jenis petuturan yang seharusnya mereka pergunakan, baik di lingkungan instansi maupun di lingkungan masyarakat pada umumnya. Hal ini dapat terjadi karena beberapa faktor, diantaranya faktor pengetahuan seseorang, faktor lingkungan, faktor pergaulan, faktor keadaan daerah, dan faktor intern seseorang. Sebagai salah satu contoh petuturan yang disampaikan seseorang yang kesehariannya di Terminal sangatlah jauh berbeda dengan petuturan yang disampaikan oleh seorang dosen yang kesehariannya menyampaikan kajian-kajian ilmiah kepada mahasiswanya di lingkungan kampus, begitu pun tidak sedikit orang yang masih banyak kesalahan dalam menggunakan petuturan. Padahal sebetulnya di mana saja kita berada atau kepada siapa kita menyampaikan tuturan, tentu harus sesuai dengan etika dan jenis petuturan yang benar. Berangkat dari hal itulah, sehingga makalah ini memaparkan tentang petuturan dan masalahnya.

1.2    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1.    Apa saja jenis tindak tutur?
2.    Apa pengertian dari deiksis?
3.    Apa pengertian dari praanggapan?
4.    Apa pengertian dari implikatur?
5.    Bagaimana prinsip kerja sama dalam pertuturan?
6.    Apa saja sebab dari pertuturan yang gagal?

1.3    Tujuan Penulisan
1.    Mengetahui jenis-jenis tindak tutur.
2.    Mengetahui pengertian deiksis.
3.    Mengetahui pengertian praanggapan.
4.    Mengetahui pengertian implikatur.
5.    Mengetahui prinsip kerja sama dalam pertuturan.
6.    Mengetahui sebab yang mengakibatkan pertuturan menjadi gagal.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Tindak Tutur
Istilah dan teori tentang tindak tutur mula-mula diperkenalkan oleh J.L. Austin, seorang guru besar di Universitas Harvard pada tahun 1956, kemudian teori yang berasal dari materi kuliah itu dibukukan oleh J.O. Urmson (1962) dengan judul How to do Thing with Word.
Kalimat atau tuturan yang selain mengatakan sesuatu juga menyatakan adanya perbuatan atau tindakan dalam kajian pragmatik disebut kalimat performatif atau tuturan performatif. Sedangkan tuturan yang hanya mengatakan sesuatu saja disebut kalimat atau tuturan konstatif. Menurut Austin kalimat atau tuturan performatif tidak mengandung nilai salah atau benar. Berbeda dengan tuturan konstatif yang bisa dicari salah benarnya. Dari sejumlah literatur pragmatik dapat ditarik pengertian bahwa tindak tutur adalah tuturan dari seseorang yang bersifat psikologis dan yang dilihat dari makna tindakan dalam tuturannya itu. Serangkaian tindak tutur akan membentuk suatu peristiwa tutur (speech event). Lalu, tindak tutur dan peristiwa tutur ini menjadi dua gejala yang terdapat pada satu proses, yakni proses komunikasi.
Tindak tutur yang dilakukan dalam bentuk kalimat performatif oleh Austin (1962) dirumuskan sebagai tiga buah tindakan yang berbeda, yaitu (1) tindak tutur lokusi, (2) tindak tutur ilokusi, dan (3) tindak tutur perlokusi.
1.    Tindak Tutur Lokusi
Tindak tutur lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu sebagaimana adanya atau The Act of Saying Something, tindakan untuk mengatakan sesuatu. (Chaer : 2010).
Seseorang yang membutuhkan informasi dan kebetulan tuturan informasi itu mereka dengar berarti informasi itu secara otomatis telah didapatkan dari tuturan orang lain. 


Contoh :
A.    Jalan Sisinga adalah jalan yang menghubungkan jalur Singaparna dan Ciawi.
B.    Bencana terbesar di Tasikmalaya pada tahun 2010 adalah Gempa bumi.
Kalimat A dan B dituturkan oleh seorang penutur semata-mata hanya untuk memberi informasi sesuatu belaka, tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu. Bila disimak baik-baik tampaknya tindak tutur lokusi ini hanya memberi makna secara harfiah, seperti yang dinyatakan dalam kalimatnya.
2.    Tindak Tutur Ilokusi
Tindak tutur ilokusi selain menyatakan sesuatu juga menyatakan tindakan melakukan sesuatu, oleh karena itu disebut sebagai The Act of Doing Something (tindakan melakukan sesuatu). (Chaer : 2010) 
Dalam hal ini seseorang ketika menyampaikan petuturan bukan hanya menyampaikan informasi saja namun sebagian petuturan itu diharapkan melahirkan respon dalam bentuk prilaku.
Contoh :
A.    Adzan Magrib telah berkumandang.
B.    Ujian Nasional sudah dekat.
Kalimat A bila dituturkan oleh seorang ibu kepada anaknya selain memberi informasi tentang waktu, juga berisi tindakan yaitu mengingatkan untuk segera menunaikan Sholat Magrib. Oleh karena itu anaknya akan menjawab : “Ya, bu. Sebentar saya wudlu dulu.” Sedangkan untuk kalimat B bila dituturkan oleh seorang guru kepada murid-muridnya, selain memberi informasi mengenai ujian nasional yang sudah dekat juga berisi tindakan yaitu mengingatkan agar murid-murid harus giat belajar agar lulus dalam ujian nasional.
Jadi, bila disimak baik-baik tindak tutur ilokusi ini selain memang memberi informasi tentang sesuatu, juga lebih terkandung maksud dari tuturan yang diucapkan itu.

3.    Tindak Tutur Perlokusi
Tindak tutur perlokusi adalah tindak tutur yang mempunyai pengaruh atau efek terhadap lawan tutur atau orang yang mendengar tuturan itu. Maka tindak tutur perlokusi sering disebut sebagai The Act of Affective Someone (tindak yang memberi efek pada orang lain). (Chaer : 2010)
Dalam tindak tutur perlokusi ini petutur beharap ada perhatian dari lawan tutur terhadap apa yang disampaikannya. Hal ini sering dialami oleh setiap orang dengan tujuan dan kepentingan yang berbeda, misalnya tujuan meminta maaf, memohon perhatian, memahami keadaan seseorang dan sebagainya.
Contoh :
A.    Air wudlu di Masjid sudah mengalir.
B.    Jum’at lalu saya tidak mengikuti perkuliahan karena mengikuti Work Shop.
Tuturan kalimat A tidak hanya memberi informasi bahwa air wudlu di Masjid sudah mengalir, tetapi juga bila dituturkan oleh seseorang teman yang sudah menunaikan sholat kepada temannya yang telah lama menuggunya, maka Dia akan memahami keterlambatan temannya karena sebelumnya diketahui bahwa air wudlu di Masjid tidak mengalir. Kalimat B selain memberi informasi bahwa si penutur pada minggu lalu ada kegaitan work shop, juga bila dituturkan pada lawan tutur bermaksud meminta maaf. Lalu, efek yang diharapkan adalah agar si lawan tutur memberi maaf kepada si penutur.
Searle (1975) membagi tindak tutur itu atas lima kategori, yaitu :
a.    Representatif (disebut juga asertif), yaitu tindak tutur yang mengikat penuturnya kepada kebenaran atas apa yang dikatakannya.
Ketika penutur bertugas menuturkan informasi maka informasi itu harus dituturkan secara akurat. Oleh karena itu, petutur harus melakukan observasi terhadap kebenaran informasi yang akan dituturkannya. Misalnya mengatakan, melaporkan dan menyebutkan.
b.    Direktif yaitu tindak tutur yang dilakukan penuturnya dengan maksud agar lawan tutur melakukan tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu.
Seorang penutur menyampaikan informasi atau gagasan yang menarik dan logis, sehingga lawan tutur memahami, merasa tertarik bahkan bermaksud untuk melakukan apa yang yang telah disampaikan oleh petututur. Misalnya menyuruh, memohon, menuntut, menyarankan, dan menantang.
c.    Ekspresif yaitu tindak tutur yang dilakukan dengan maksud agar tuturannya diartikan sebagai evaluasi mengenai hal yang disebutkan di dalam tuturan itu.
Sebagai salah satu bentuk petuturan seseorang dapat memberikan tanggapan berupa petuturan terhadap apa yang telah dilakukan oleh lawan tutur. Ketika suatu saat lawan tutur telah membantu kita, maka petutur munuturkan ucapan terima kasih. Misalnya memuji, mengucapkan terima kasih, mengkritik, dan menyelak.
d.    Komisif yaitu tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam tuturannya.
Penutur seolah menyampaikan tuntutan kepada lawan tuturannya agar melakukan apa yang diperintahkan oleh petutur. Dalam pelaksanaannya yang tampak ada unsur ketegasan  sehingga lawan petutur lebih cenderung melaksanakannya. Misalnya berjanji, bersumpah, dan mengancam.
e.    Deklarasi yaitu tindak tutur yang dilakukan si penutur dengan maksud untuk menciptakan hal (status, keadaan, dan sebagainya) yang baru.
Dalam hal ini penutur memiliki pertimbangan yang kuat sehingga harus menuturkan sebuah ketegasan atas pertimbangan tertentu, bahkan ketegasan tersebut dituturkan setelah melalui proses yang memerlukan waktu sehingga membuahkan hasil berupa petuturan tegas yang dapat dipertanggungjawabkan.Misalnya memutuskan, membatalkan, melarang, mengizinkan, dan memberi maaf.
Dari teori tindak tutur yang ada dapat disimpulkan bahwa satu bentuk ujaran dapat mempunyai lebih dari satu fungsi. Sebaliknya, satu fungsi dapat dinyatakan dalam berbagai bentuk ujaran.
Tindak tutur dapat dibedakan menjadi tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung. Tindak tutur langsung adalah tindak tutur yang langsung menyatakan sesuatu, seperti dalam tindak tutur lokusi. Sedangkan tindak tutur tidak langsung adalah tindak tutur yang tidak langsung menyatakan apa adanya, tetapi menggunakan bentuk tuturan lain, sama saja dengan tindak tutur ilokusi.

2.2 Deiksis
    Deiksis berasal dari kata yunani kuno yang berarti “menunjukan atau menunjuk”. Sebuah dapat dikatakan deiksis apabila rujukannya berpindah – pindah (berganti – ganti), dilihat dari siapa yang menjadi pembicara, waktu dan tempat dituturkannya kata tersebut.
    Fenomena deiksis merupakan cara yang paling jelas untuk menggambarkan hubungan antara bahasa dan konteks dalam struktur bahasa itu sendiri. Seperti kata saya, sini, sekarang dalam kata-kata tersebut tidak memiliki referen yang tetap. Referen untuk kata-kata tersebut dapat diketahui maknanya apabila diketahui pula siapa,dimana dan kapan kata tersebut diucapkan. Jadi yang menjadi orientasi deiksis adalah penutur. Contoh dalam kalimat sebagai berikut : mohon maaf jika besok saya tidak dapat hadir.
Kata saya pada contoh kalimat diatas adalah deiksis karena lawan tutur tidak tahu siapa saya tersebut? Untuk menghindari deiksis maka kata saya lebih tepat kalau disebutkan namanya terutama untuk bahasa tulis, jika dalam bahasa lisan (tuturan) kata tersebut tidak deiksis karena yang jadi lawan tuturnya sudah saling mengenal. Sama hal nya dengan kata besok pada contoh tersebut.
Agar komunikasi antara penutur dan lawan tutur tidak terganggu, dapat berjalan dengan lancar maka seharusnya kata-kata yang deiksis tidak ada.



2.3 Praanggapan
Praanggapan atau presuposisi adalah “pengetahuan” bersama yang dimiliki oleh penutur dan lawan tutur yang melatarbelakangi suatu tindak tutur. Praanggapan mengacu pada makna tersirat yang diartikan “mendahului’ makna kalimat yang diucapkan atau tertulis .Contohnya pertuturan antara A dan B sebagai berikut :
A    : saudara perempuanmu yang sulung sudah menikah belum?
B    : sudah, bulan September.
Dalam pertuturan diatas terdapat pengetahuan bersama yang dimiliki A dan B bahwa B memiliki saudara lebih dari satu, karena ada tuturan yang sulung berarti ada yang bungsu. Tanpa pengetahuan itu, tentu A tidak dapat mengajukan pertanyaan seperti itu, dan B tidak dapat menjawab seperti itu juga.
Tambahan tuturan “bulan september” bersifat tidak wajib karena yang diminta dalam pertanyaannya hanyalah “sudah menikah belum”, namun tambahan itu juga penting.

2.4 Implikatur
Implikatur percakapan adalah adanya keterkaitan antara ujaran dari seorang penutur dan lawan tuturnya. Keterkaitan tersebut mengacu pada jenis-jenis kesepakatan bersama antara penutur dan lawan tuturnya, kesepakatan dalam pemahaman bahwa yang dibicarakan harus saling berhubungan.
Contoh :
A : kamu masih disini
B : bus ke pangandaran baru saja lewat.
Secara tersirat dapat dipahami keterkaitan antara pertanyaan A terhadap B, karena kalau A dan B tidak saling keterkaitan tidak mungkin muncul pertanyaan tersebut. Dapat di simpulkan implikatur percakapan itu dapat dikatakan sejenis makna yang terkandung dalam cakapan yang dipahami oleh masing-masing partisipan.


2.5 Prinsip Kerja Sama Dalam Pertuturan
Pertuturan akan berlangsung dengan baik apabila penutur dan lawan tutur dalam pertuturan itu menaati prinsip-prinsip kerja sama seperti yang dikemukakan oleh Gries (1975: 45-47). Kerja sama tersebut dapat berupa kontribusi pengetahuan dari peserta pertuturan. Dalam kajian pragmatik prinsip itu disebut maksim, yakni berupa pertanyaan ringkas yang mengandung ajaran atau kebenaran. Setiap penutur harus menaati empat maksim kerja sama, yaitu makim kuantitas (maxim of quantity), maksim kualitas (maxim of quality), maksim relevansi (maxim of relevance), dan maksim cara (maxim of manner).
a.    Maksim kuantitas menghendaki setiap peserta tutur hanya memberikan kontribusi yang secukupnya saja atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawannya, jangan berlebihan menggunakan kalimat penjelas dari kalimat utama. Misalnya : Ayam saya yang betina telah bertelur. Tuturan tersebut tidak menaati maksim kuantitas karena adanya kata yang betina yang tidak perlu, sudah tentu semua ayam yang bertelur adalah ayam betina. Untuk menaati maksim kuantitas cukup dengan informasi secukupnya saja, yaitu : Ayam saya telah bertelur.Atau pada kalimat : Anak saya yang perempuan, sekarang sedang mengandung 4 bulan. Penggunaan kata yang perempuan tidak menaati maksim kuantitas, karena sudah tentu yang mengandung itu adalah perempuan.
b.    Maksim kualitas, maksim ini menghendaki agar peserta pertuturan mengatakan hal yang sebenarnya. Peserta pertuturan mengatakan hal sebenarnya dengan fakta yang ada, tidak mengarang, terkecuali jika memang tidak mengetahui.
Contoh 1:
A    : Asti, Bandung itu dikenal sebagai kota apa?
B    : Kota pahlawan, bu.
A    : Bagus, berarti Surabaya itu kota Lautan Api ya?
Pertuturan diatas tidak menaati maksim kualitas dengan memberikan kontribusi bahwa Kota Pahlawan adalah julukan untuk kota Bandung. Kontribusi A yang melanggar maksim kualitas ini diberikan sebagai reaksi terhadap jawaban B yang salah.Kata bagus yang diucapkan dengan nada mengejek menyadari B terhadap kesalahannya.
Contoh 2 :
A    : Afrizal, Semarang itu ibu kota mana?
B    : Jawa Tengah, bu.
Pertuturan Contoh 2 telah mentaati maksim kualitas, karena benar nyatanya yaitu Semarang adalah ibu kota Jawa Tengah.
c.    Maksim relevansi, maksim ini mengharuskan setiap peserta memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah atau tajuk pertuturan. Dengan pengetahuan yang dimiliki oleh penerima tuturan, maka adanya pesan tersirat dari apa yang dituturkan oleh penutur.
Contoh 1 :
A    : Bu, ada telpon untuk ibu!
B    : Ibu sedang di kamar mandi, Nak.
Sepintas jawaban B pada pertuturan diatas tidak berhubungan. Namun, bila disimak baik-baik hubungan itu ada. Jawaban B menyiratkan bahwa saat itu si B tidak dapat menerima telepon secara langsung karena sedang berada di kamar mandi. Maka B secara tidak langsung meminta agar si A menerima telepon itu.
Contoh 2 :
A    : Pak, tadi ada tabrakan motor dengan mobil di depan kampus.
B    : Mana yang menang?
Komentar B terhadap pernyataan A tidak ada relevansinya, sebab dalam peristiwa tabrakan tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Kedua pihak sama-sama mengalami kerugian. Agaknya diluar dari maksud melucu jawaban B pada pertuturan tersebut sukar dicari hubungan implikasionalnya. Beda dengan pertuturan yang meskipun tuturan A dan B ada relevansinya, tetapi kiranya hanya untuk kelucuan belaka.

Contoh 3 :
A    : Mengapa orang mati harus dimandikan?
B    : Karena dia tidak dapat mandi sendiri.
d.    Maksim cara, maksim ini mengharuskan penutur dan lawan tutur berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak ambigu, tidak berlebih-lebih dan runtut.
Contoh 1 :
A    : Mobilmu dimana sekarang?
B    : Di parkiran lantai 3.
A    : Yang mana?
B    : Yang warnanya hitam.
Pertuturan diatas tidak menaati maksim cara karena informasi “Yang warnanya hitam” itu tidak jelas. Karena mobil yang terparkir dan berwarna hitam tidak hanya satu, melainkan ada banyak, belum lagi dilihat jenisnya mobil apa. Contoh pertuturan yang menaati maksim cara adalah :
A    : Coba kamu Andi, kota Makassar ada di mana?
B    : Ada di Sulawesi Selatan, pak!
Pelaksanaan maksim cara yang lain yaitu dengan mengeja huruf demi huruf. Hal ini dilakukan untuk menghindari pengucapan kata tabu dan menjaga kesopanan.
Contoh 2 :
A    : Barusan kamu dari mana?
B    : Dari belakang, habis b-e-r-a-k
Maksim cara juga mengharuskan para peserta pertuturan berbicara secara runtut atau menata pikiran secara teratur. Contoh pertuturan berikut melanggar aspek keruntutan yang sangat penting untuk memahami keseluruhan makna pertuturan.

Contoh 3 :
Mulai dari birokrat paling bawah di tingkat kelurahan sampai pada birokrat tertinggi di tingkat kementerian melakukan korupsi. Tiap tahun triliun uang negara raib mereka korup. Perbuatan korupsi telah menggurita di kalangan birokrat di negeri kita. Ironisnya, meskipun KPK telah bekerja keras menangkap dan memeriksa pejabat tersangka korup tetapi tiba di pengadilan hampir semuanya divonis bebas. Bukan hanya pejabat eksekutif tetapi juga pejabat legislatif dan pejabat yudikatif.
Namun, dibawah ini ada pula pertuturan yang lebih runtut daripada pertuturan diatas.
Contoh 4 :
Perbuatan korupsi telah menggurita di kalangan birokrat di negeri kita. Mulai dari birokrat paling bawah di tingkat kelurahan sampai pada birokrat tertinggi di tingkat kementerian. Bukan hanya pejabat di kalangan eksekutif tetapi juga pejabat legislatif dan pejabat yudikatif. Tiap tahun triliunan uang negara raib mereka korup. Ironisnya, meskipun KPK telah bekerja keras menangkap dan memeriksa pejabat tersangka korup, tetapi tiba di pengadilan hampir semuanya divonis bebas.

2.6 Pertuturan yang Gagal
Banyak faktor yang menyebabkan satu proses komunikasi menjadi gagal. Ketika terjadi kagagalan dalam komunikasi maka komunikasi itu tentu tidak epektif. Sehinga petutur tidak dapat berkomunikasi dengan baik. 
Faktor-faktor tersebut biasanya datang dari lawan tutur, antara lain (a) lawan tutur tidak mempunyai pengetahuan yang dibicarkaan; (b) lawan tutur dalam keadaan “tidak sadar”; (c) lawan tutur tidak tertarik dengan topik yang dituturkan; (d) lawan tutur tidak berkenan dengan cara penutur menyampaikan informasi; (e) lawan tutur tidak mempunyai yang diinginkan si penutur; (f) lawan tutur tidak memahami yang dimaksud si penutur; dan (g) lawan tutur tidak mau melanggar kode etik. (Chaer : 2010)
a.    Lawan tutur tidak punya pengetahuan
Proses komunikasi akan gagal apabila lawan tutur tidak mempunyai pengetahuan mengenai objek yang dibicarkaan.
Petutur maupun lawan tutur akan bersifat komunikatif apabila keduanya memiliki pengetahuan tentang objek petuturan. Hal ini bisa dipengaruhi oleh faktor usia, pendidikan, lingkungan, atau status social.
b.    Lawan tutur tidak sadar
Suatu proses pertuturan melibatkan penutur, lawan tutur dan pesan atau objek yang dituturkan; tetapi dengan syarat lawan tutur harus dalam keadaan sadar atau menyadari adanya tuturan dari seorang penutur.
Petutur atau pun lawan tutur dapat komunikasi dengan baik apabila keduanya dalam keadaan sadar. Karena apabila seorang petutur manyampaikan pesan dalam keadaan tidak sadar maka pesan yang disampaikannya tidak akan sesuai dengan logika, baik logika petutur ataupun logika lawan tutur.
c.    Lawan tutur tidak tertarik
Proses pertuturan akan berlangsung dengan baik apabila informasi atau objek yang dibicarkaan sama-sama diminati oleh penutur dan lawan tutur; atau lawan tutur juga mempunyai perhatian terhadap informasi yang disampaikan oleh penutur. Namun, apabila lawan tutur tidak tertarik dan tidak punya perhatian terhadap informasi yang disampaikan penutur, maka proses pertuturan itu menjadi gagal.
Ketika seseorang tidak merasa tertarik terhadap sesuatu maka dia akan sulit memahmi objek tersebut. Apalagi lawan tutur akan beupaya memahami ketika menyukai terhadap objek petuturan, karena objek petuturan akan komunikatif kalau antara petutur dan lawan tutur sama-sama memahmi  objek tuturannya.
d.    Lawan tutur tidak berkenan
Proses pertuturan juga akan gagal kalau lawan tutur tidak berkenan atau tidak suka dengan cara penutur menyampaikan informasi tuturannya. Penutur menganggap bahwa dalam pertuturan yang penting adalah adanya pesan yang dikomunikasikan. Namun, bagi lawan tutur adanya pesan yang dikomunikasikan saja belum cukup. Lawan tutur juga menghendaki adanya penyampaian pesan dengan cara yang baik dan berkenan di hatinya yaitu dengan menggunakan bahasa yang santun.
Setiap orang berharap diperlakukan sopan oleh orang lain, begitupun penutur menyampaikan pesan terhadap lawan tutur, ketika lawan tutur sudah merasa berkenan terhadap cara dan etika penutur dalam menyampaikan tuturannya, maka lawan tutur akan lebih merasa senang dan secara otomatis setelah menyenangi berarti pula akan lebih berkonsentrasi untuk memahami informasi yang disampaikan oleh penutur.
e.    Lawan tutur tidak punya
Proses pertuturan bisa juga menjadi gagal kalau lawan tutur tidak punya yang diinginkan oleh penutur. Proses penuturan dimulai oleh penutur dan ditujukan kepada lawan tutur agar di tanggapi seperti yang diinginkan penutur. Namun, kalau yang diinginkan itu tidak dimiliki lawan tutur maka proses pertuturan menjadi gagal.
Ketika petutur berharap respon dari lawan tutur terhadap permintaannya, maka lawan tutur akan memberikannya sesuai dengan harapan petutur. Namun sebaliknya jika lawan tutur tidak memilki apa yang diminta oleh penutur, maka lawan tutur tidak akan dapat memberikan sesuai harapan penutur.
f.    Lawan tutur tidak paham
Sebuah proses pertuturan akan berlangsung dengan baik apabila penutur dan lawan tutur memiliki pemahaman yang sama mengenai topik yang dibicarkaan. Namun, apabila lawan tutur tidak dapat memahami maksud dari tuturan penutur, maka komunikasi tidak akan berlanjut.
Lawan tutur akan memahami objek yang disampaikan oleh penutur apabila keduanya sama-sama memahami bahasa dan isi pesan yang disampaikan oleh petutur. Penutur harus dapat menyesuaikan kemampuan berbahasa lawan tutur agar pesan yang disampaikannya dapat dipahami oleh lawan tutur. Kalau ternyata tingkat pemahaman bahasa lawan tutur kategorinya sedang atau bahkan rendah, maka petutur harus mengguanakan bahasa yang lugas.
Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya :
-    Bidang ilmu yang dimiliki penutur dan lawan tutur tidak sama
-    Kosakata dan kalimat yang digunakan penutur sukar dipahami
-    Yang dikatakan penutur berbeda dengan yang dimaksud
-    Penutur terlalu banyak menggunakan ungkapan dan kata-kata berkias
g.    Lawan tutur Terkendala kode etik
Proses pertuturan dapat juga gagal akibat dari kode etik yang dipegang oleh lawan tutur. Sebetulnya lawan tutur dapat menjawab permintaan penutur, tetapi kalau dijawab dia akan melanggar kode etik yang harus dipegangnya.


BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari uraian yang telah dipaparkan pada bab sebelumya, penyusun dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :
1.    Tindak tutur yang dilakukan dalam bentuk kalimat oleh Austin (1962) dirumuskan sebagai tiga buah tindakan yang berbeda, yaitu tindak tutur lokusi, tindak tutur ilokusi, dan tindak tutur perlokusi.
2.    Deiksis adalah kata atau kata-kata yang rujukannya tetap.
3.    Praanggapan atau presuposisi adalah pengetahuan bersama yang dimiliki oleh penutur atau lawan tutur yang melatarbelakangi suatu tindak tutur.
4.    Implikatur atau implikatur percakapan adalah adanya keterkaitan antara ujaran dari seorang penutur dan lawan tuturnya.
5.    Prinsif kerja sama dalam petuturan, meliputi maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara.
6.    Faktor yang menyebabkan proses komunikasi menjadi gagal adalah lawan tutur tidak punya pengetahuan, lawan tutur tidak sadar, lawan tutur tidak tertarik, lawan tutur tidak berkenan, lawan tutur tidak punya, lawan tutur tidak punya, dan lawan tutur terkendala kode etik.

3.2 Saran
            Setelah penyusun dapat menyimpulkan uraian pada bab penutup, maka saran yang dapat penyusun sampaikan adalah sebagai berikut :
1.    Pragmatik termasuk salah satu disiplin ilmu yang sangat penting untuk dikaji karena didalamnya dibahas etika tuturan dalam kehidupan sehari-hari.
2.    Karena dalam kehidupan sehari-hari tidak lepas dari tuturan, maka etika tuturan bukan sebatas dipelajari saja, namun harus dapat direlisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
3.    Hal-hal yang dipaparkan dalam makalah ini walau pun singkat namun jadikan motifasi agar petutur dapat terus meningkatkan tuturannya.

7 komentar:

  1. sangat membantu, thanks ... (y) :)

    BalasHapus
  2. materinya bagus mba, izin share nggh

    BalasHapus
    Balasan
    1. oke, kalau bisa nanti sertakan juga referensinya ya, dan lengkapi aja dari referensi lain

      Hapus
  3. mbak kalau bisa disertai daftar pustaka ya. soalnya mbak kan ambil kutipan sana-sini :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mba, saya juga heran kenapa sya dulu ga pakai daftar pustaka :D Maklum dulu masih mahasis yang lucu

      Hapus
  4. boleh ksih tahu reference dari teori chaer:210...apa judul journal atau bukunya?

    mksi

    BalasHapus